Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono
Selasa, 27 September 2011
Kepompong itu
kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Dalam Kesyahduan
(Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu – Sapardi Djoko Darmono)
I
Dan kucuri malam,
karena hadirmu, kini,
tersipu ku dalam diam, terpacu rasa bahagiaku,
mewangi kata dan elokku.
II
Dan kupingit malam,
mematri bayangmu dalam do’a-do’a panjangku
mentasbihkan namamu di tiap serpihan kata,
membiarkanmu merebahkan diri dalam dzikirku,
menghalau galau yang menawan jiwamu,
agar kilau,
senantiasa terpendar di beningnya matamu
III
Dan kujadikan malam sebagai kekasih,
mendekapnya mesra, kupuja, kurayu,
untuk merelakan tiap detiknya memanjang,
agar tak henti aku mengharap
nyenyaknya senyummu.
IV
Dan kuabadikan malam,
kubentangkan permadani langit,
hingga terpenjaralah kau dalam surga.
I
Dan kucuri malam,
karena hadirmu, kini,
tersipu ku dalam diam, terpacu rasa bahagiaku,
mewangi kata dan elokku.
II
Dan kupingit malam,
mematri bayangmu dalam do’a-do’a panjangku
mentasbihkan namamu di tiap serpihan kata,
membiarkanmu merebahkan diri dalam dzikirku,
menghalau galau yang menawan jiwamu,
agar kilau,
senantiasa terpendar di beningnya matamu
III
Dan kujadikan malam sebagai kekasih,
mendekapnya mesra, kupuja, kurayu,
untuk merelakan tiap detiknya memanjang,
agar tak henti aku mengharap
nyenyaknya senyummu.
IV
Dan kuabadikan malam,
kubentangkan permadani langit,
hingga terpenjaralah kau dalam surga.
Berjalan Kebarat Waktu Pagi
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Kami Bertiga
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
Tentang Matahari
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
Langganan:
Postingan (Atom)